Rise Sang Pejaga Hutan

Aku melihat makhluk kecil itu sejak aku pindah ke sini beberapa Minggu lalu. Makhluk bertubuh kecil tapi berwajah tua itu, sangat mirip dengan kurcaci. Ia mempunyai mata yang besar, hidung mancung dan bibir yang lebar. Ia juga berpakaian serba hitam lengkap dengan topi kerucut di atas kepalanya—mirip penyihir.

Namanya Rise. Orang lain tak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Ia memang lebih banyak diam. Tatapannya selalu menunjukkan kesedihan. Seperti seseorang yang merasa kesepian, sendirian di dunia yang begitu banyak orang ini.

Aku selalu bertemu dengannya di dekat pintu masuk hutan. Terkadang, kalau aku tidak pergi menemuinya, ia yang datang ke sekolahku, mengajakku ke hutan. Anehnya, aku menurut saja tanpa benyak perlawanan. Tatapannya seolah menghipnotisku.

“Sebenarnya kau siapa?” tanyaku pada suatu hari. Namun ia tetap diam. Ia lebih suka menunjukkan sesuatu dengan gambaran-gambaran yang ia kirimkan melalui otakku. Biasanya, ia menyuruhku memegang tangan keriputnya, kemudian ia memejamkan mata. Seketika itu juga gambaran-gambaran negeri asing yang belum pernah kutemui sebelumnya berputar-putar di otakku—seperti roll film.

Sore ini, tatapan mata Rise berubah. Ia terlihat tegang dan seperti mengkhawatirkan sesuatu. “Ada apa?” tanyaku. Ia tak menjawab. Tapi matanya menatap tepat ke mataku seperti meminta pertolongan.

“Ini gawat!” untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membuka mulutnya. Suaranya lembut seperti kapas.

“Wah, ternyata suaramu seperti itu,” aku tersenyum. “Gawat kenapa?” tanyaku mendekat ke padanya.

Kali ini tatapan Rise berubah sendu. Air mata seperti menggenang di sudut matanya. “Tempat ini akan musnah, Eli,” katanya. Kali ini dengan suara bergetar.

“Apa maksudmu?” aku semakin tidak mengerti.

Rise terdiam. Ia mengulurkan tangan keriputnya padaku. “Ikutlah denganku, Eli.”

Aku mengernyit. “Ke mana? Kau tidak pernah menjawab ketika kutanya, siapa kau? Dan sekarang, kau ingin aku mengikutimu?”

“Aku mohon, Eli. Hanya kau yang bisa menolong kami.”

Kutatap mata Rise dalam-dalam, mencoba menemukan dusta dari sorot matanya. Tapi ternyata, aku tidak menemukannya. Dia sungguh-sungguh membutuhkan pertolonganku—setidaknya itu yang kutangkap.

Rise mengangguk kembali meyakinkanku. Kali ini, aku pun mendekatinya. Kuraih tangan keriput itu. Mata Rise terpejam. Dalam sepersekian detik, kurasakan tubuh kami melayang di udara. Angin bertiup kencang dan membawa kami ke dalam lorong waktu yang sangat gelap. Ingin rasanya aku menjerit. Tapi tenggorokanku tercekat. Seperti berada di ambang batas kematian. Semuanya gelap.

***

“Bangunlah, Eli. Kita sudah sampai,” kurasakan tangan keriput Rise menggoyang-goyang tubuhku pelan.

Aku membuka mataku perlahan. Aneh. Matahari bersinar terik di atas sana. Seingatku, saat kami berada di perbatasan hutan, masih sore. “Kita di mana?” tanyaku mencoba untuk duduk. Kusapu pandanganku ke sekitar, dan mataku terbelalak tak percaya. “Ini…”

“Ya, kita di hutan, Eli.”

Aku bangkit berdiri. Semua pohon hangus. Makhluk-makhluk yang mirip dengan Rise bergelimpangan tak bernyawa. Mereka ikut hangus terbakar.

Aku menoleh pada Rise. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa hutan kita jadi seperti ini?”

Rise tersenyum getir. Ia kembali mengulurkan tangannya padaku. “Tutuplah matamu, Eli.”

Aku menurut. Kuulurkan tanganku padanya. Kami kembali tersedot dalam lorong waktu. Berputar-putar dalam kegelapan dan kembali berpijak pada bumi. Kali ini, aku tidak pingsan.

“Aaaaa…” terdengar suara teriakan yang melengking.

Aku menoleh ke arah suara tersebut. Api. Aku melihat sekumpulan polisi tengah memegang obor dan membakar pohon-pohon itu. Mereka seperti tidak melihat makhluk-makhluk kecil berlarian ke sana ke mari untuk menghindari api itu.

“Tidak! Jangaaan! Tolong hentikan semua ini! Mereka ketakutan.” Aku mencoba mendekati mereka. Berteriak sekeras mungkin agar mereka menghentikan perbuatan kejam mereka. Tiba-tiba, satu wajah seperti tak asing di mataku. Ayah. Ada ayahku di antara para polisi itu. Aku berjalan mendekatinya, “Ayah, aku mohon hentikan semua ini. Kau tidak bisa melakukan ini pada mereka. Ayah!”

Tek!!

Waktu seperti berhenti. Jerit tangis para kurcaci itu menghilang ditelan kegelapan malam. Aku menoleh ke belakang. Mencari Rise. Hanya ia yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi.

Rise terdiam. Matanya menatap nanar pada kurcaci-kurcaci yang saat ini diam tak bergerak—seperti patung.

“Apa yang terjadi, Rise? Apa yang terjadi?” desakku. Kali ini, semuanya benar-benar tak kumengerti.

Rise menghela napas. Ia berjalan mendekatiku. “Mereka akan membakar hutan, Eli. Mereka akan menghancurkan semuanya tanpa tahu kalau di sini ada kehidupan. Mereka—termasuk ayahmu.”

“Tidak mungkin! Ayah bukan orang yang jahat. Ia sangat baik pada kami. Ia tak pernah menyakiti siapa pun.” Aku berusaha menyangkal.

“Karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Ayahmu tidak tahu kalau hutan ini penuh dengan kehidupan. Bukan hutan mati seperti yang orang-orang bilang. Katakan pada ayahmu. Bujuk dia agar dia tak melakukan ini pada kami. Kami di sini tidak untuk menyakiti siapa pun. Kami hanya ingin hidup, Eli. Hidup…” Rise meneteskan air matanya. Untuk pertama kalinya aku melihat tetesan air mata itu keluar dari mata besarnya.

Aku berjalan lebih dekat pada Rise. Kutepuk bahu kurusnya. Rise mendongak menatapku. “Tenanglah, Rise. Aku pasti akan membantumu. Aku janji.” Ada senyum mengembang dari bibirku. Kuusap lembut air mata Rise. Ia sedikit tersenyum, dan tangan keriputnya menyentuh tanganku. Terasa dingin.

“Aku percaya padamu, Eli,” ucapnya. “Kau siap untuk kembali?”

Aku mengangguk yakin. Dan dalam sekejap, semua kembali gelap.

SPLASH